Graduation
Vicky gak tau harus seneng atau sedih.
Sedihnya itu karena harus pisah sama temen-temennya dan seneng karena akhirnya dia udah lulus.
Acara dimulai jam 10 pagi maka dari itu Vicky dan teman-temannya sudah ke salon dari jam 7 pagi.
Yang datang pertama itu Laura, karena dia yang punya salon. Dan Vicky adalah orang terakhir yang datang.
“Elo pasti gegana ya dari semalem?” Kata Sabrina mencoba menebak. Susan, Laura, dan Vicky mengerutkan dahi mereka bingung.
“Gegana tuh apa?” Tanya Susan.
“Gelisah galau merana.” Sahut Evelyn bersenandung.
Vicky menghembuskan nafasnya pelan, “Yes, of course.” Ia membenarkan perkataan Sabrina, “Should i be happy or sad? I don't even know.”
Susan menaikan alisnya sebelah, “Why are you sad? Who hurt you, babe?”
“Lo gak tau beneran apa pura pura gak tau?” Tanya Laura.
Gadis itu diam sebentar.
Bukan, bukan karena tertohok sama pertanyaan Laura. Tapi Susan itu memang agak lemot di antara teman-temannya.
“Lo tau, lahir di keluarga kaya kita gini gak berarti bahagia. Kecuali Susan ya.” Jelas Vicky, “Pakaian sehari-hari selalu diatur, sekolah diatur, bahkan masalah percintaan pun diatur.”
Gadis bernama lengkap Vicky Jang Hanasta itu memejamkan matanya.
“Kalo masalah yang lain oke deh gapapa gue masih bisa terima. But why is it that love affairs are also arranged? Kenapa masalah percintaan gue juga diatur gitu loh?” Lanjutnya.
Laura, Evelyn, Sabrina, dan Susan menatap Vicky dengan sedih.
Mereka mengerti apa yang dirasakan oleh gadis itu, karena mereka pun juga merasakannya. Tapi cuma Susan yang masalah percintaannya gak diatur sama keluarganya.
Makanya terkadang teman-temannya yang lain iri sama Susan.
“Udah udah gak usah dipikirin lagi. Kita seneng-seneng aja hari ini. Urusan sedih belakangan.” Ujar Sabrina mencairkan suasana, “Kalian gak lupa kan kalo kita bakalan satu kampus dan satu fakultas?”
“Satu gedung apartemen juga.” Sahut Evelyn.
“NAHHHHHHH!!! Udah gak usah sedih lagi ya sayang-sayangku.” Kata Sabrina menenangkan teman-temannya, “We must happy in our graduation party!!!! “
Diam diam Vicky tersenyum senang karena masih memiliki mereka disisinya.
“Gak kerasa ya?” Vicky mengangguk.
Pemuda ini meneguk orange juice nya dan meletakkan gelasnya di atas meja. Lalu ia menoleh ke Vicky dan memperhatikan setiap inti wajahnya.
“Kamu cantik.” Ujarnya.
Biasanya Vicky akan senang begitu dipuji oleh pemuda ini, tapi sekarang ia malah sedih. Sangat sedih. Bahkan rasanya ia ingin menangis saat ini juga.
“Liat aku dong.” Pinta pemuda ini. Vicky menggeleng, “Gak mau. Nanti aku nangis.” Ujarnya jujur.
Travis, pemuda yang ada di samping Vicky ini terkekeh, “Gapapa nangis aja. Mumpung cuma ada kita disini.”
Vicky langsung menoleh sambil menunduk.
Ia mencoba menguatkan dirinya untuk tidak menangis di hadapan cinta pertamanya itu.
Ia adalah orang yang selalu ada di sampingnya disaat Vicky membutuhkannya.
Ia adalah orang yang selalu berusaha membuat Vicky bahagia disaat ia sedih.
Travis adalah satu satunya orang yang bisa mewujudkan keinginan Vicky untuk hidup seperti orang-orang biasa.
Sudah terlalu banyak kenangan yang mereka buat.
Dan Vicky akan selalu mengingatnya sampai kapan pun.
Kemudian gadis ini langsung menatap Travis sambil tersenyum, “Nah gitu dong senyum. Kan jadi makin cantik.” Kata Travis.
“Thank you, Trav. Kamu juga ganteng banget hari ini.” Balas Vicky.
Travis langsung tersipu malu.
“Vicky,” Panggil pemuda ini.
“Ya? Kenapa?” Sahut Vicky.
“Can i hug you? Maybe for the last time?“
“Of course you can.”
Mereka pun berpelukan sambil mengucapkan banyak terima kasih dan maaf kepada satu sama lain.
Terima kasih atas kenangannya,
dan maaf karena kisah mereka harus sampai disini saja.
“Its okay to crying, we know that you've been holding it in for a long time.” Kata Evelyn.
Vicky langsung menangis hebat di hadapan teman-temannya saat itu juga.